Muslim Style

Tips & Trik

Analisana

Palestina

Beritana

Fiqhuna

Tarikhuna

Haditsuna

Aqidatuna

Random Post

Test Footer

Culture

Pamrih Suara, bolehkah?

PAMRIH SUARA

Banyak teman-teman bertanya: boleh nggak kita melakukan kegiatan bakti sosial atau aksi kepeduliaan dengan maksud supaya partai kita dipilih dalam pemilu, atau sapaya “jagoan” kita dalam PILKADA ditusuk, atau boleh nggak kita melakukan berbagai kegiatan supaya diliput media, masuk tivi, ditulis di koran dan semacamnya? Bukankah hal ini termasuk riyâ’ dalam arti beramal supaya terlihat orang lain, atau sum’ah dalam arti beramal supaya cerita tentang amal ini sampai dan didengar oleh banyak kalangan?

Pertanyaan semacam ini bagi saya gampang-gampang susah menjawabnya. Jawaban pertanyaan semaam ini menjadi gampang menjawabnya manakala kita jawab dengan “ya” atau “tidak” hanya berdasarkan muatan lahiriah dari pertanyaannya. Kita jawab “ya” (dalam arti memang hal inilah yang disebut riyâ’ atau sum’ah) adalah sesuatu yang gampang. Terlebih memang maksud sang penanya, dengan gaya bahasanya yang fait a comply ini, memang menghendaki jawaban demikian. Dan bisa jadi, wallâhu a’lam, jawaban “ya” seperti ini akan menjadi sebuah dasar atau pijakan atau asas untuk melakukan “vonis” di sana sini bahwa si A yang melakukan aksi sosial, atau si B yang membuat aksi kepeduliaan dan sebagainya memang sedang mengobral riyâ’ atau sum’ah. Dan bisa jadi juga, wallâhu a’lam, jawaban ini akan menjadi cemeti ampuh untuk menghalau banyak pihak supaya tidak memberikan dukungan, atau istilahnya menjadi bahan yang dahsyat untuk melakukan penggembosan amal.

Pertanyaan seperti di atas, rasanya gampang juga untuk kita jawab “tidak”, dalam arti semua kegiatan dan aksi seperti di atas “tidak”-lah termasuk riyâ’ ataupun sum’ah. Kenapa gampang dijawab demikian? Sebab, masalah riyâ’ atau sum’ah itu kan masalah hati, sedangkan yang mengetahui isi hati hanyalah Allah SWT, sedangkan para pelaku kegiatan atau aksi tersebut, selama ini sudah dikenal keikhlasan dan ketulusannya.

Namun, walaupun jawaban “tidak” juga gampag diberikan, tetap saja jawaban ini mengandung komplikasi, betapa tidak, hukum, atau vonis, atau penilaian itu kan didasarkan pada hal-hal yang bersifat lahiriah! Sedangkan lahirian yang tampak, aksi atau kegiatan itu sangat dekat dan terkait sekali dengan pemilu atau PILKADA! Akan tetapi, benarkah menjawab pertanyaan di atas itu gampang dan mudah seperti itu?Untuk menjawab pertanyaan terakhir ini, mestilah ditelusuri terlabih dahulu hal-hal berikut ini:

Pertama: Khair, Walaupun Tidak Ikhlash; Namun, Pahala Besar, Jika Ikhlash

Di dalam Al-Qur’an, ada satu ayat yang sangat menarik untuk direnungkan, terlebih dalam kaitan “Latar Belakang dan Masalah” di atas. Yaitu Q.S. An-Nisâ’: 114.

Point-point yang bisa digali dari ayat ini adalah:

1. Kebanyakan najwâ (berbisik-bisik) tidaklah memiliki khair (kebaikan).
2. Namun, ada juga najwâ yang membawa khair (kebaikan), yaitu: najwâ yang memerintahkan orang lain untuk bersedekah, atau memerintahkan orang lain untuk berbuat ma’rûf, atau najwâ yang dilakukan dalam rangka mendamaikan dua pihak yang sedang bertikai.
3. Tiga hal ini, yaitu najwâ yang memerintahkan orang lain untuk bersedekah, atau memerintahkan orang lain untuk berbuat ma’rûf, atau najwâ yang dilakukan dalam rangka mendamaikan dua pihak yang sedang bertikai, tetaplah khair walaupun yang melakukannya tidak ikhlash[1].
4. Namun, agar semua amal tadi mendapatkan pahala yang besar di akhirat, hendaklah semuanya dilakukan dengan ikhlash (ibtighâ’a mardhâtillâh).

Al-Hâfizh Ibn Rajab menjelaskan alasan mengapa tetap khair walaupun tidak ikhlash, yaitu[2]:

1. Sebab manfaat dari ketiga model kegiatan ini manfaatnya dapat dirasakan oleh publik, walaupun pelakunya tidak ikhlash sekalipun.
2. Sebab, sisi khairiyah dari tiga model kegiatan ini dampaknya akan berantai dalam arti orang lain akan tergerak hatinya untuk berbuat yang sama atau bahkan lebih baik lagi, dan bisa jadi, di antara yang ter-“tular” oleh model amal ini adalah orang-orang yang ikhlash.

Keterkaitan pembahasan ini dengan “Latar Belakang dan Masalah” terletak pada keharusan untuk berhati-hati dalam menjatuhkan “hukum” atau “vonis” atau “penilaian” tentang suatu perbuatan. Jangan segera kita vonis dengan: pamrih, riyâ’, sum’ah, tidak ikhlash, demi meraih suara, dukungan dan sebagainya. Terlebih menjadi “vonis” sepihak ini sebagai pijakan untuk memobilisasi orang lain untuk tidak ikut serta dalam suatu aksi sosial atau kegiatan kepeduliaan sosial, atau untuk melakukan penggembosan terhadapnya. Sebab, pernik-pernik dan lika-liku menilai sesuatu itu memang tidak mudah dan tidak gampang, contohnya adalah pembahasan kajian Q.S. An-Nisâ’: 114 ini.


Kedua: Jika Sedekah Ditampakkan, Betapa Indahnya itu, dan Jika Dirahasiakan, Itu Yang Terbaik

Judul ini adalah kutipan dari terjemahan Q.S. Al-Baqarah: 271

Pelajaran yang bisa digali dari ayat ini antara lain:

1. Allah SWT menyanjung sedekah yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan dengan sanjungan: fani’immâhiya (betapa bagus dan indahnya hal itu).
2. Dan jika sedekah dilakukan secara rahasia dan langsung diberikan kepada faqir miskin, maka hal itu lebih baik.

Jika demikian, saat kita melihat suatu aksi sosial, atau kegiatan kepeduliaan sosial, yang boleh jadi dilakukan secara terbuka, diliput media, masuk tivi dan sebagainya, kenapa kita tidak menilainya seperti penilaian Allah SWT?! Kenapa kita tidak menilainya dengan penilaian: fani’immâhi?! Akan lebih bagus lagi kalau kita tidak hanya sebatas memberikan penilaian demikian, akan tetapi, kita langsung terjun, ikut terlibat dan bergabung dalam aksi dan kegiatan tersebut, agar kita tercakup dalam penilaian Allah SWT: fani’immâhi!!!

Bahwa kalau hal itu dilakukan secara rahasia itu lebih baik, ini masalah lain, dan adakalanya terdapat murajjihat (hal-hal yang menguatkan) untuk melakukan suatu amal secara terang-terangan, dan murajjihat ini bisa jadi menjadikan kegiatan yang terang-terangan itu lebih kokoh (âkad) secara syar’i.


Ketiga: Karena Maqâshid Tertentu, Suatu Amal Sebaiknya Dilakukan Secara Terang-Terangan

Islam mengajarkan bahwa suatu amal terkadang perlu dilakukan dan dipublikasi secara terbuka. Ada maksud-maksud tertentu (maqâshid) yang dibenarkan oleh Islam.

Pelaksanaan shalat ‘Ied misalnya. Sunnah Rasulullah SAW mengajarkan agar dilakukan di lapangan terbuka, dengan memobilisir semua potensi umat, termasuk wanita yang sedang haidh diminta hadir di lapangan terbuka itu. Bahkan wanita yang tidak mempunyai jilbab, demi menghadiri acara terbuka di lapangan itu, dibenarkan untuk meminjam dari yang lainnya, dan yang mempunyai jilbab berlebih hendaklah meminjamkan kepada yang tidak punya.

Maksud dari hal ini adalah: agar mereka menyaksikan al-khair dan da’watal muslimîn[3].

Mungkin ada yang berpendapat: ini kan dalam urusan ibadah, dan dalam ibadah tidak boleh ada qiyâs atau analogi!

Bisa jadi pendapat ini benar, akan tetapi, bagaimana dengan hadits berikut ini:

عن أبي هريرة ، قال : قال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " من أصبح منكم اليوم صائما ؟ " قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : " فمن تبع منكم اليوم جنازة ؟ " قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : " فمن أطعم منكم اليوم مسكينا ؟ " قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، قال : " فمن عاد منكم اليوم مريضا ؟ " قال أبو بكر رضي الله عنه : أنا ، فقال رسول الله صلى الله عليه وسلم : " ما اجتمعن في امرئ ، إلا دخل الجنة " * (رواه مسلم)

Dari Abu Hurairah RA, ia berkata: Rasulullah SAW bersabda: “Siapa di antara kamu yang pagi ini berpuasa? Abu Bakar RA menjawab: “saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapa di antara kamu yang telah mengantarkan jenazah?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapakah di antara kamu yang telah memberi makan orang miskin pada hari ini?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Rasulullah SAW bersabda: “Lalu, siapakah di antara kamu yang hari ini telah menjenguk orang sakit?”. Abu Bakar RA menjawab: “Saya”. Maka Rasulullah SAW bersabda: “Hal-hal seperti ini tidak terhimpun pada seseorang kecuali orang itu masuk surga”. (HR. Muslim, no. 1769, 4504).

Ibnu Abi Syaibah juga meriwayatkan hal yang mirip seperti ini, hanya saja, yang melakukannya adalah Umar bin Al-Khaththab RA[4].


Jangan Nggembosi-lah

Al-Qur’an banyak berisi ayat-ayat yang mendorong manusia untuk beramal, baik amal yang dilakukan secara terbuka dan terang-terangan maupun amal yang dilakukan secara sembunyi-sembunyi. Di antaranya adalah Q.S. Al-Baqarah: 278.

Di sisi lain, Al-Qur’an sangat mencela orang-orang yang berusaha menggembosi orang lain untuk beramal, dan Al-Qur’an Al-Karim menjelaskan bahwa cara-cara nggembosi ini adalah cara orang-orang munafiq, semoga Allah SWT hindarkan kita semua dari sifat, perbuatan dan cara-cara orang munafiq.

Adalah Q.S. At-Taubah: 79 yang menjelaskan demikian. Secara garis besar, ayat ini menjelaskan:

1. Di antara orang-orang munafiq, ada orang-orang yang mencibir para sukarelawan dalam bersedekah.
2. Orang yang bersedekah banyak secara terbuka, sebagaimana dilakukan oleh Abdurrahman bin Auf, mereka cibir dengan pernyataan: “aah, itu kan karena riyâ’ dan sum’ah”.
3. Dan orang yang bersedekah sedikit, seperti yang dilakukan oleh Abû Aqîl Abdurrahman bin Tîjân, mereka cibir dengan pernyataan: “yach, sumbangan kok Cuma satu shô’ kurma, Allah SWT Maha Kaya, segitu itu apa artinya?”. Padahal, dalam rangka dapat menyumbang satu Shô’ ini Abû Aqîl “memaksakan” diri bekerja pada suatu malam (bukan siang), demi mendapatkan suatu upah, dan ternyata upahnya adalah satu shô’ kurma tadi, dan paginya, dia sumbangkan untuk perjuangan Rasulullah SAW. Kenapa Abû Aqîl “memaksakan diri”? sebab dia betul-betul ingin menyumbang, akan tetapi, dia tidak mempunyai apa pun yang bisa ia sumbangkan, maka, dia bekerja, walaupun harus di malam hari, demi “dapat menyumbang” dalam perjuangan. Seseorang yang ber-tadh-hiyyah seperti ini, ternyata oleh orang munafiq dicibir.

Hal ini memberi pelajaran penting kepada kita, bahwa:

1. Allah SWT sangat menghargai orang yang bekerja, aktif dan berjihad dalam kerjanya ini.
2. Allah SWT sangat tidak menyukai orang-orang yang suka melakukan penggembosan terhadap orang lain untuk beramal.

Untuk itu, tidak usah lah kita meributkan tentang keikhlasan atau ketidak-ikhlasan suatu amal yang dilakukan oleh orang lain, akan tetapi, adakah kita berada pada barisan orang-orang yang beramal?

Tentang keikhlasan, marilah kita introspeksi dan melihat diri kita sendiri, dan jadikan masalah keikhlasan ini antara kita dengan Allah SWT, kita tidak diminta untuk membedah hati orang lain untuk mengetahui adakah dia ikhlash dalam amalnya?


Positive Thinking Dalam Menilai

Rasulullah SAW juga mengajarkan kepada kita, agar dalam menilai suatu amal, hendaklah kita menilainya dengan mengedepankan penilaian positif dan membuat penilaian negatif, minor serta sinis. Kecuali bila suatu amal itu telah nyata-nyata negatif.

Diceritakan bahwa suatu kali Rasulullah SAW menceritakan bahwa ada seseorang berniat bersedekah pada suatu malam, dan ternyata, sedekahnya pada malam hari itu jatuh kepada seorang pencuri, setelah dia mengetahui bahwa penerima sedekahnya adalah seorang pencuri, dia berkata: Allahumma laka al-hamdu (alhamdulillah) , besok malamnya dia bersedekah lagi, ternyata penerimanya adalah wanita pelacur, begitu dia mengetahui bahwa penerimanya adalah seorang peacur, dia berkata: Allahumma laka al-hamdu, besok malamnya dia bersedekah lagi, dan ternyata penerimanya adalah orang kaya.

Semua sedekah yang “salah sasaran” ini ternyata semuanya diberi tafsir positif oleh Rasulullah SAW. Tentang pencuri yang menerima sedekah, ditafsirkan: semoga dengan sedekah itu dia tidak lagi mencuri, tentang wanita pelacur, diberi tafsir: semoga dengan sedekah itu dia tidak lagi melacur, dan tentang orang kaya: semoga dia mengambil ibrah[5].

Hadits ini memberi pelajaran kepada kita, hendaklah kita belajar untuk menjadi manusia-manusia yang lebih cerdas, pintar dan cekatan dalam memberi tafsir positif, agar manusia terpacu untuk beramal, dan janganlah kita menjadi bagian dari orang-orang yang memandang perbuatan dan ucapan orang lain dengan menggunakan kaca mata hitam, apalagi menggunakan kaca mata kuda, sebab, membangun motivasi orang untuk beramal itu jauh lebih sulit.


Penutup

Beberapa uraian di atas menggambarkan bahwa:

1. Menilai sesuatu itu memang gampang-gampang susah, oleh karena itu, serahkanlah masalah penilaian ini kepada Allah SWT, Dzat yang maha mengetahui segala rahasia. Pamrih atau tidak pamrih, itu bukan domain kita.
2. Belajar untuk positive thinking itu sangat perlu, agar barisan orang-orang yang beramal semakin banyak.

Semoga Allah SWT senantiasa memberikan taufiq, hidayah dan bimbingan kepada kita untuk menjadi manusia-manusia yang mendengar berbagai pendapat, pandangan dan ucapan, lalu kita dibimbing oleh-Nya untuk mengikuti yang terbaik, amiiin.

[1] Agar tidak penasaran dalam hal ini, silahkan dirujuk kepada: Ibn Rajab al-Hanbali, Jâmi’ al-‘Ulûm wa al-Hikam, (Beirut: Muassasah al-Risâlah, 1417 H/1997 M), cet. Ke-7, juz. 1, hal. 12.

[2] Ibid.

[3] HR. At-Tirmidzî, no. 495, lihat pula Silsilat al-Ahadits as-Shahihah, hadits no. 600.

[4] Ibnu Abî Syaibah, Mushannaf, no. 10949.

[5] Hadits shahih muttafaqun ‘alaih. Lihat Bukhari (1332) dan Muslim (1698).


Dari maillist tetangga, semoga bisa bermanfaat.. .

Tidak ada komentar

Leave a Reply