Muslim Style

Tips & Trik

Analisana

Palestina

Beritana

Fiqhuna

Tarikhuna

Haditsuna

Aqidatuna

Random Post

Test Footer

Culture

Masisir Versus KBRI?*

Oleh: Ihsan Zainuddin

Barangkali judul di atas tidak sepenuhnya benar. Namun apa yang saat ini mewarnai dinamika Masisir, membuat sejumlah orang berpikir demikian, sekurang-kurangnya penulis sendiri. Ada hal yang sangat aneh terjadi. Di saat KBRI tengah bersusah payah membangun hubungan diplomasi Indonesia-Mesir, sadar atau tidak, upaya yang menghabiskan dana ratusan juta hingga milyaran itu, disambut “sinis” oleh Masisir. Padahal kontribusi Masisir sebagai warga negara asing di negeri ini, sangat besar bagi kesuksesan visi Dubes Fachir, yaitu bagaimana Mesir memandang penting Indonesia.

Sebelum terlalu jauh mengurai paragraf di atas, izinkan saya mengetuk nurani kemahasiswaan kawan-kawan. Mari membuka mata lebar-lebar terhadap eksistensi serta aktivitas para diplomat yang berkantor di Garden City sana. Apakah Masisir harus tunduk dan patuh saja dengan segala kebijakan mereka? Apakah Masisir tidak perlu sesekali memantau perwakilan NKRI di lembah Nil ini. Toh, Masisir hanya wajib belajar dan belajar. Masalahnya, sejauh ini sudah beredar anggapan (stigma negatif) yang muncul dari kalangan mereka bahwa Masisir KRITIS TAPI PENURUT. Ada apa ini?

Namanya berita, bisa saja benar atau salah. Tapi agaknya penting dievaluasi anggapan tadi, apa gerangan yang melatarbelakangi kesimpulan ini. Jangan-jangan, KBRI sekarang merasa aman-aman saja dengan segala kebijakannya. Toh, Masisir bukanlah KPK, BPK atau badan independent semisal KBRI Watch.

OK. Masisir barangkali bisa diam ketika kebijakan atau keputusan KBRI tidak menyentuh langsung maslahat mereka. Sekali lagi, kita beri kebebasan kepada KBRI yang dinahkodai oleh Dubes Abdurrahman Fachir. Karena buat apa Dubes serta rombongan home staf digaji ribuan perbulan, jika kurang cerdas, kreatif, berani melakukan tugas diplomasinya plus melindungi kita di sini.

Ah, penulis tidak ingin menyinggung tanggungjawab KBRI terhadap Masisir yang teraniaya karena kasus kriminal, korban salah tangkap intelejen Mesir dan lain sebagainya. Karena Masisir agaknya sepakat, KBRI dalam hal ini GAGAL. Adakah tindakan nyata KBRI terhadap kawan kita (maaf) yang kemaluannya disentrum pihak keamanan Mesir?. Apakah pihak yang sewenang-wenang itu sudah dihakimi secara adil? Sampai di mana kasus-kasus kriminal yang marak menimpa kawan kita dekade ini?

Logikanya kalau mereka sukses berdiplomasi, nggak perlu heran, Mas! Toh, sekali lagi, mereka sudah dibayar mahal. Cukuplah kita ikut mendukung Menlu RI memberi apresiasi atau tanda jasa bagi para diplomat ini. Yang harus dikritisi, kalau mereka gagal mengembang amanah atau malah terbukti mengkhianatinya. Pertanyaannya, sudah adakah indikasi sukses upaya tim diplomasi besutan Fachir ini? Silahkan kawan-kawan cari sendiri jawabannya.

Yang jelas, berbagai acara seminar tentang Hubungan Diplomasi Indonesia-Mesir baru-baru ini, menyimpulkan nihilnya kesuksesan Fachir beserta para pembantunya. Hubungan keduanya masih sebatas nostalgia historis. Keduanya masih bercumbu dalam bingkai sejarah. Tunggu dulu, lebih tepatnya bahwa pihak Indonesia masih asyik masyuk dengan romantika masa lalu antara Soekarno dan Gamal Abdul Naser. Karena itu, ratusan juta digelontorkan untuk memperingati momen bersejarah ini. Setelah itu, what? Setidaknya pasca kunjungan Presiden Mubarak ke Indonesia tahun 1983, hubungan keduanya belum membuahkan hasil signifikan.

Bukankah umur diplomasi ini sudah mulai beruban, 63 Tahun? Padahal Indonesia-Mesir memiliki banyak kesamaan dan karakter, yang sangat berpotensi meningkatkan hubungan di segala bidang, khususnya pendidikan dan ekonomi. Yang terus ditonjolkan adalah arus kedatangan mahasiswa Indonesi untuk menimba ilmu di al-Azhar (Ini lagu lama, kale!).

Dengan dasar itulah Fachir ingin membalas jasa al-Azhar dengan mega proyek asrama mahasiswa. Naasnya, justru di saat Fachir berkantor di Garden City, setelah terbang dari Malaysia, mahasiswa Indonesia semakin berkurang ke Mesir. Hingga tulisan ini ditulis, mahasiswa Indonesia peraih beasiswa via Kedubes Mesir, tak satu pun sampai ke Kairo. Otomatis mereka rasib berjemaah. Apapun alasannya, yang jelas, ini terjadi di zamannya Fachir.

Tidak tanggung-tanggung, ratusan juta digelontorkan untuk mengangkat martabat bangsa Indonesia di negeri ini. Hitung saja berapa biayanya mulai the great Loka Karya, biaya iklan pencitraan, pameran-pameran hingga acara peringatan 63 tahun hubungan diplomasi Indonesia-Mesir.

Tulisan ini bukan ingin membedah program KBRI yang terkesan tertutup. Tertutup karena memang Masisir tidak perlu tahu berapa dana KBRI yang digelontorkan dan seberapa besar pencapain targetnya. Karena kalau mereka ditanya, jawabannya adalah it’is not your business alias ini bukan urusanmu. Sampai di sini, kita masih berusaha yakin dana negara itu digunakan semestinya. Amin!

Tapi yang jadi masalah ketika kebijakan itu terkait langsung dengan maslahat Masisir. Maaf, tapi inilah yang penulis lihat. Dubes Fachir, sejak awal kedatangannya, terkesan ingin menjadi “The Real Hero” untuk menyelesaikan problematika Masisir yang konon melahirkan begitu banyak keresahan. Masisir semakin tahun semakin memprihatinkan saja, alias banyak yang rosib. Tidak ada keseimbangan arus mahasiswa yang datang dan yang balik dari dan ke tanah air. Di sana-sini banyak hal yang tidak beres. Sampai-sampai Dubes Fachir benar-benar serius memikirkannya.

Sayangnya, terobosan-terobosan Fachir yang awalnya di atas kertas memukai dan menyihir sebagian aktivis Masisir, lambat laun semakin tidak populer. Terang saja, karena solusi itu selalu identik dengan Ide Sang Revolusioner Fachir dan “dipaksa dijalankan” walau oleh sebagian pihak dinilai terburu-buru. Ingat, Dubes Fachir pernah berkata dalam sebuah acara, “Ah, mereka itu kan tidak tahu masalah”, demikian tanggapan Bapak yang mulia ini kepada mereka yang kontra dengan ide-ide Dubes tersebut. Coba bayangkan berapa lama waktu Dubes berkenalan dengan Masisir yang dinilainya sakit, lalu dengan “paksa” memberi Masisir pil Loka Karya-nya. Hingga hari ini kantor imigrasi Mesir tak ubahnya seperti dulu. Masalah Maba semakin beranak pinak.

Barangkali Dubes akan mengatakan, lihat saja kenaikan indeks prestasi Masisir, tidakkah semakin meningkat dari tahun ke tahun? Data atdikbud memang demikian, tapi benarkah Masisir belajar karena amunisi bernama Loka Karya? Kita harus ingat, sebelum kedatangan Dubes baru, penulis dan yang lain angkatan 2005 Depag, menancapkan semangat untuk berprestasi di al-Azhar. Terbukti, salah satu di antara kami bisa Mumtaz, banyak yang Jayyid, termasuk penulis sendiri (jayyid). Padahal ketika itu, peraih predikat tersebut masih sangat jarang dikalangan Masisir. Jadi bukan karena Loka Karya, tapi kesadaran massif yang lahir dari Masisir untuk lebih baik dari pendahulunya.

Coretan pribadi ini tidak akan terlalu jauh menyoal kinerja dan program Dubes Fachir satu persatu. Termasuk mega proyek asrama mahasiswa itu. Karena, maaf, itu hanya ide pencitraan Dubes semata. Sekali lagi, memukau di atas kertas, tapi kering observasi. Saya tidak akan pernah rela secuil pun untuk meloloskan anggaran daerah asalku untuk mega proyek tadi. Toh, tidak ada jaminan ketika asrama itu jadi, maka saya juga berhak tinggal di dalamnya. Karena dengan bangga Fachir akan menyerahkan kunci-kunci asrama kepada AL-AZHAR. Terserah kebijakan al-Azhar, seperti apa sistem rekrtumen penghuninya.

Sejak awal, gaya pendekatan Fachir kepada Masisir -yang kelewat diplomatis ini- sudah tidak populis. Di KKS, Fachir berkata, tidak semua pertanyaan A, aku akan jawab A bisa B atau C. Sementara Masisir, ingin yang taktis dan to the poin. Jadi, jangan berharap Anda bisa dengan lembut mengkritik Dubes dan “konco-konconya”. Salut, untuk ketua KKS, Ammu Nuzur. Mahasiswa senior ini mampu membatalkan keputusan syarat temus tentang pengundian ulang di KBRI. Ammu Nuzur berbeda dengan golongan yang diatas, kritis tapi nurut. Dengan tegas, ia seorang diri mempertaruhkan status kemahasiswaan dan jabatannya di KKS, untuk membela Masisir. Kalau memang kebijakan itu tidak sepihak dan benar, lantas, mengapa KBRI taklut di hadapan Nuzur seorang?

Kebijakan KBRI tentang TEMUS tahun ini, bukti nyata betapa KBRI tidak mengenal atau pura-pura tidak tahu Masisir. Kita berhak bertanya, ada apa dibalik kebijakan sepihak ini? Apakah kita akan membiarkan KBRI menjelma menjadi lembaga Hitler (baca:dictator) yang ingin menjadi sopir kendaraan Masisir. Oh, ya, sangat disayangkan, sejumlah aktivis Masisir yang kini menjadi local staf, mulai menjaga jarak dengan habitatnya dulu. Sebagai anak buah harus turut apa kata bos, lah! Kalau perlu jadi intel untuk menangkap Masisir yang membandel.

Kawan-kawan jangan diam dengan permainan ikan teri KBRI. Jelas-jelas, tingkat empat susah dapat visa, malah diberi kesempatan. Tragisnya, KBRI sangat bangga dengan ketetapan bahwa tidak akan membantu mereka. Eh daa! Kalau saja kita mencermati bersama poin kesepakatan rapat antara KBRI, PPMI dan Organisasi, maka di sana sini banyak yang rancu. Masisir dianggap buta dengan aturan atau edaran yang berbaju politis. Kebetulan Masisir lagi fokus ujian, jadi perhatian dan energi lebih banyak baca muqarrar.

Secara pribadi, penulis menilai, Masisir saat ini tidak bisa berharap banyak kepada PPMI. Karena PPMI tidak lebih dari seorang yang bernama Taufik. Sosok, yang dengan sangat mudah dipelintir KBRI. Lihat saja, ada apa dengan pengiriman delegasi Mahasiswa ke Australia tanpa keikutsertaan Presiden PPMI. Lagi-lagi, KBRI ikut campur dalam urusan ini. Anehnya, PPMI selalu turut apa kata KBRI, tapi sejatinya PPMI perlahan tapi pasti menjadi rival KBRI. Lihat saja, Presiden PPMI mengajukan profosal ke Australia, yang disambut sinis di Garden City.

Jadi, jangan berharap kasus TEMUS ini bisa ditangani atau diperjuangkan PPMI kita. Karena itu, dengan lantang kita bertanya kepada PPMI, perjelas wilayah kerjamu. Jangan sama-samar, alias pilihlah ikut dengan KBRI -yang kini menjauh darimu- atau ke pihak Masisir!

Terakhir, walaupun tulisan semacam ini sebatas curahan hati penulis. Tapi, menurut penulis, sudah saatnya Masisir serius dan lebih kritis memantau penghuni gedung bercat putih hijau di pinggir Nil itu. Pesan buat Dubes (Nggak salahkan kirim pesan buat pemimpin?), bagaimana Anda akan mampu sukses berdiplomasi dengan Mesir, sementara Anda gagal merebut hati Masisir guna membantu usaha mulia Anda. Gagal, karena sudah hampir empat tahun Fachir memimpinn Masisir, kebijakannya selalu mentah alias mandul dilawan arus penolakan Masisir. Ah, saya tidak kuasa membayangkan jika kelak masalah TEMUS membentuk kesadaran massif Masisir rame-rame ‘ziarah’ ke KBRI.

*Coretan jelang Subhu di Qatamiyah (13/06/10). Penulis ikut prihatin karena nama besar Masisir mulai dikebiri para pendatang baru. Tulisan ini juga akan berlanjut di hari lain hingga Masisir kembali bangkit dari pembodohan diplomasi gaya orde baru. Basi!.


Dari Catatan Ihsan Zainuddin di Facebook

Trims buat akh Ihsan Zainuddin

Tidak ada komentar

Leave a Reply